close
loading...

08/11/16

Penyesalan dan Air Mata Yang Sudah Tiada Arti,,Jika Telah Terjadi Seperti Ini?!!

Empat th. waktu lalu, kecelakaan telah merenggut orang yang kukasihi, sering saya bertanya­tanya, bagaimana keadaan istriku sekarang ini di alam surgawi, baik­baik sajakah? Dia pasti demikian sedih karena sudah meninggalkan sorang suami yg tidak bisa mengurusi rumah dan seorang anak yang masih tetap demikian kecil.

Sekianlah yang kurasakan, lantaran sampai kini saya terasa bila saya telah gagal, tidak bisa penuhi kepentingan jasmani dan rohani anakku, dan gagal untuk jadi ayah dan ibu untuk anakku.

Disuatu hari, ada masalah paling utama di tempat kerja, saya mesti selekasnya pergi ke kantor, anakku masih tetap tertidur. Ohhh saya mesti sediakan makan buat dia. Karena masih tetap ada sisa nasi, jadi saya menggoreng telur untuk dia makan Setelah memberitahukan anakku yang masihlah mengantuk, lantas saya bergegas pergi ke tempat kerja.

Peran ganda yang kujalani, buat energiku benar­benar terkuras. Sehari waktu saya pulang kerja saya merasa demikian lelah, sesudah bekerja selama seharian.

Hanya sekilas saya memeluk dan mencium anakku, saya segera masuk ke kamar tidur, dan melupakan makan malam.

Namun, waktu saya merebahkan badan ke tempat tidur dengan maksud untuk tidur sebentar menyingkirkan kepenatan, tiba­tiba saya terasa ada suatu hal yang pecah dan tumpah seperti cairan hangat! Saya buka selimut danâ? ¦.. disanalah sumber
“masalah”nya â? ¦ satu mangkok yang pecah dengan mie instan yang berantakan di seprai dan selimut!

Ohâ? ¦Tuhan! Saya demikian berang, saya mengambil gantungan pakaian, dan langsung
menghujani anakku yang sedang suka bermain dengan mainannya, dengan pukulanpukulan!

Dia hanya menangis, sedikitpun tidak memohon belas kasihan, dia hanya memberi
info singkat : “Ayah, tadi saya merasa lapar dan tidak ada lagi sisa nasi. Tetapi ayah belum pulang, jadi saya inginkan memasak mie instan. Saya ingat, ayah pernah mengemukakan untuk tidak menyentuh atau menggunakan kompor gas tak ada orang dewasa di sekitaran, jadi saya menyalakan mesin air minum ini dan menggunakan air panas untuk memasak mie. Satu untuk ayah dan yang satu lagi buat saya.

Karena saya takut mie”nya akan jadi dingin, jadi saya menyimpannya di bawah selimut supaya tetaplah hangat sampai ayah pulang. Tetapi saya lupa untuk mengingatkan ayah karena saya tengah bermain dengan mainanku, saya minta maaf, ayah â? ¦ ”
Waktu itu juga, air mata mulai mengalir di pipiku, tetapi, saya tidak ingin anakku saksikan ayahnya menangis jadi saya lari ke kamar mandi dan menangis dengan menyalakan shower di kamar mandi untuk menutupi suara tangisku.

Setelah beberapa lama, saya hampiri anakku, kupeluknya dengan erat dan berikan obat kepadanya atas luka bekas pukulan dipantatnya, lalu saya membujuknya untuk tidur.

Selanjutnya saya bersihkan kotoran tumpahan mie di tempat tidur. Waktu semuanya
sudah selesai dan lewat tengah malam, saya lewat kamar anakku, dan saksikan anakku masih tetap menangis, tidaklah karena rasa sakit di pantatnya, tetapi karena dia tengah saksikan foto ibu yang dikasihinya.

Satu tahun berlalu mulai sejak momen itu, saya coba, dalam periode ini, untuk memusatkan perhatian dengan memberinya kasih sayang seorang ayah dan kasih sayang seorang ibu, serta memperhatikan semua kebutuhannya. Tidak ada terasa, anakku sudah berumur tujuh th., dan akan lulus dari Taman Kanak­kanak. Untungnya, insiden yang berjalan tidak meninggalkan saat lantas buruk di waktu kecilnya dan dia sudah tumbuh dewasa dengan bahagia.

Namun, belum lama, saya sudah memukul anakku lagi, saya benar­benar menyesal.
Guru Taman Kanak­kanaknya memanggilku dan memberitahukan bila anak saya tak ada dari sekolah. Saya pulang kerumah lebih awal dari kantor, saya menginginkan dia bisa menjelaskan.

Tetapi ia tidak ada dirumah, saya pergi mencari di sekitaran rumah kami, memangil­manggil
namanya dan pada akhirnya temukan dirinya di satu toko alat tulis, tengah bermain
computer game dengan suka. Saya berang, membawanya pulang dan menghujaninya dengan pukulan­ pukulan. Dia diam saja lalu mengemukakan, “Aku minta maaf, ayah”.


diselenggarakan oleh sekolah, karena yg diundang yakni siswa dengan ibunya.

Dan itu argumen ketidakhadirannya karena ia tidak punyai ibu. Demikian hari setelah penghukuman dengan pukulan rotan, anakku pulang ke rumah memberitahuku, bila disekolahnya mulai di sampaikan cara membaca dan menulis. Sejak mulai saat itu, anakku semakin banyak mengurung diri di kamarnya untuk berlatih menulis, saya yakini, apabila istriku masih tetap ada dan memandangnya ia akan merasa bangga, sudah pasti dia buat saya bangga juga! Waktu berlalu demikian cepat, satu tahun telah lewat. Tetapi astaga, anakku buat permasalahan lagi.

Waktu saya tengah menyelasaikan pekerjaan di hari­hari terakhir kerja, tiba­tiba kantor posmenelpon. Karena pengiriman surat tengah alami puncaknya, tukang pos juga tengah sibuk­sibuknya, kondisi hati mereka juga jadi kurang bagus.

Mereka menelponku dengan geram­marah, untuk memberitahukan bila anakku telah
kirim sebagian surat tidak ada alamat. Walau saya sudah berjanji untuk tidak pernah memukul anakku lagi, tetapi saya tidak bisa menahan diri untuk tidak memukulnya lagi, karena saya merasa bila anak ini sudah benar­benar keterlaluan.
Tetapi sekali lagi, seperti lebih dahulu, dia minta maaf : “Maaf, ayah”. Tidak ada menambahkan satu kata juga untuk menerangkan argumennya kerjakan itu. Lalu saya pergi ke kantor pos untuk mengambil surat­surat tidak ada alamat itu lalu pulang. Sesampai di rumah, dengan berang saya mendorong anakku ke sudut mempertanyakan kepadanya, perbuatan konyol terutama ini? Apa yang ada dikepalanya? Jawabannya, didalam isak­tangisnya, yakni : “Surat­surat itu untuk ibuâ? ¦.. ”.

Tiba­tiba mataku berkaca­kaca. â? ¦. tetapi saya cobalah mengatur emosi dan terus
kemukakan pertanyaan kepadanya : “Tapi kenapa anda memposkan sekian banyak surat­surat, ketika yg sama? ” Jawaban anakku itu : “Aku telah menulis surat buat ibu untuk waktu yang lama, tetapi setiap waktu saya menginginkan meraih kotak pos itu, begitu tinggi bagiku, sampai saya tak dapat memposkan surat­suratku. Tetapi baru­baru ini, waktu saya kembali ke kotak pos, saya bisa mencapai kotak itu dan saya kirimnya sekaligus”. Setelah mendengar penuturannya ini, saya kehilangan kata­kata, saya bingung, tak memahami apa yang butuh saya lakukan, dan apa yang butuh saya katakan.

Saya katakan pada anakku, “Nak, ibu sudah ada di surga, jadi untuk kemudian, apabila anda bakal menuliskan satu hal untuk ibu, cukup cuma membakar surat itu jadi surat akan sampai pada mommy. Setelah mendengar hal sejenis ini, anakku jadi lebih tenang, dan selekasnya lalu, ia bisa tidur dengan nyenyak. Saya berjanji akan membakar surat­ surat atas namanya, jadi saya membawa surat­surat itu ke luar, tapiâ? ¦. saya jadi penasaran untuk tidak buka surat itu terlebih dulu mereka beralih jadi abu.

Dan satu di antara isi surat­suratnya buat hati saya hancur “ibu sayang”, Saya demikian merindukanmu! Hari ini, ada satu acara “Pertunjukan Bakat” di sekolah, dan mengundang semua ibu untuk ada di pertunjukan itu.

Tetapi anda tidak ada, jadi saya tidak mau menghadirinya juga. Saya tidak memberitahu ayah tentang hal sejenis ini lantaran saya takut ayah akan mulai menangis dan merindukanmu lagi. Saat itu untuk menyembunyikan rasa sedih, saya duduk di depan computer dan mulai bermain game di satu di antara toko. Ayah keliling­keliling mencariku, sesudah menemukanku ayah berang, dan saya hanya bisa diam, ayah memukul saya, tetapi saya tidak menceritakan alasan yang sebenarnya. Ibu, keseharian saya saksikan ayah merindukanmu, setiap waktu dia teringat padamu, ia demikian sedih dan sering bersembunyi dan menangis di kamarnya. Saya fikir kita berdua begitu demikian merindukanmu.

Begitu berat untuk kita berdua. Tetapi bu, saya mulai melupakan wajahmu. Bisakah ibu terlihat dalam mimpiku sampai saya dapat saksikan wajahmu dan ingat anda? Rekanku katakan apabila kau tertidur dengan foto orang yang anda rindukan, jadi anda akan saksikan orang itu dalam mimpimu.

Tetapi ibu, mengapa engkau tak pernah terlihat? Setelah membaca surat itu, tangisku tidak bisa berhenti karena saya tidak pernah bisa menukar kesenjangan yg tidak mampu digantikan mulai sejak ditinggalkan oleh istriku Note : Untuk sebagian suami dan laki­laki, yang telah dianugerahi seorang istri/pasangan yang baik, yang penuh kasih pada anakanakmu selalu berterima­kasihlah keseharian pada istrimu. Dia telah ikhlas memakai sisa umurnya untuk rekani hidupmu, membantumu,

mendukungmu, memanjakanmu dan selalu setia menunggumu, membuat perlindungan dan menyayangi dirimu dan anak­anakmu. Hargailah keberadaannya, kasihilah dan cintailah dia sepanjang hidupmu dengan semuanya kekurangan dan kelebihannya, karena bila engkau telah kehilangan dia, tidak ada emas permata, intan berlian yang bisa menggantikannya.
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
NEXT ARTICLE Next Post
PREVIOUS ARTICLE Previous Post
 
loading...

Delivered by FeedBurner