Bagi anda yang tak tega jangan dilanjutkan membaca, karena hal ini akan sangat menyesakkan sekali.
Bukan nasi berikut lauk yang tersaji, melainkan tubuh bayi. Piring di lantai itu berisi bayi tak bernyawa, dengan alat-alat vital dan bagian tubuh tak lengkap lagi.
Sang ayah, Aipda Denny Siregar, berteriak histeris melihat kondisi Arjuna - buah hati yang masih berusia setahun itu. Seprai tempat jasad Arjuna memerah oleh darah yang mengering. Lantai juga ternoda bekas darah.
Dikutip dari liputan6, ini bukan drama tapi nyata terjadi di sebuah rumah kontrakan kecil di Jalan Jaya 24, sekitar Pasar Menceng, Cengkareng Barat, Jakarta Barat. Seorang bayi laki-laki berumur satu tahun tewas dimutilasi ibunya yang berinisial MUD (28), Minggu 2 Oktober 2016. MUD diduga memutilasi anaknya karena mengalami stres.
Ketua RT 04/10 Suyadi menuturkan di dalam kamar kontrakan itu ada piring tergeletak di atas lantai. Saat melihat isi piring itu bulu kuduk Suyadi berdiri. Ada potongan tubuh bayi di dalamnya.
"Pokoknya kayak gitu keadaannya, saat saya masuk kayak gitu," jelas Suyadi.
Suyadi bersama Aipda Deny masuk ke rumah kontrakan sekitar pukul 20.00 WIB, Minggu 2 Oktober 2016. Mereka masuk dengan mendobrak pintu setelah mendapat laporan dari warga.
"Saya lihat potongan tubuh di atas piring, pas masuk ke kontrakannya. Saya enggak berani mengubah apa pun," tutur Suyadi saat ditemui di lokasi kejadian, Senin 3 Oktober 2016.
Jasad bayi tak sendiri. Ibunya, Mutmainah atau Iin, 31 tahun, ada di dekatnya dalam kondisi tanpa busana.
Mutmainah langsung digiring ke Polsek Cengkareng, kemudian dibawa ke Rumah Sakit Polri, Kramatjati, Jakarta Timur untuk diperiksa kondisi kejiwaannya.
Warga geger. Mereka langsung memenuhi gang di rumah kontrakan Aipda Deny, bintara yang bertugas di Provos Polda Metro Jaya.
Kronologi Terungkapnya Mutilasi
Pada saat terbongkarnya mutilasi itu, Lastri (32) tergopoh-gopoh menuju kediaman Ketua RT Suyadi. Air matanya membanjir usai menyaksikan jasad si bayi.
Minggu 2 Oktober 2016, sekitar pukul 19.00 WIB, Denny baru pulang bertugas. Karena kondisi pintu terkunci, Denny memutuskan untuk mendobrak pintu kontrakan tersebut.
"Awalnya bapak-bapak yang masuk. Karena dia (Mutmainah) telanjang, ibu-ibu yang masuk," tutur Lastri di lokasi kejadian, Senin 3 Oktober 2016.
Saat ditanya, Mutmainah tidak menjawab dan hanya tersenyum. Namun, Lastri terkejut saat hendak menutup tubuh Mutmainah dengan seprei.
"Pas mau tutup ibunya pakai seprei, pas itu saya lihat tubuh anaknya dimutilasi," tutur Lastri.
Saat itu, posisi Mutmainah berada di dalam kamar dengan posisi duduk. Sementara jasad bayi ada di sebelahnya.
"Dari pagi anaknya enggak kelihatan, saya dari pagi enggak melihat," kata dia.
Selain Arjuna, bayi korban mutilasi, kakak korban berinisial Kar (3), juga ditemukan dengan luka di telinganya.
Bagian telinga korban mengalami luka irisan. "Langsung dilarikan ayahnya ke Puskesmas," kata Suyadi.
Mutmainah sempat memberi isyarat begitu suaminya, Aipda Denny Siregar, masuk mendobrak pintu. "Dia bilang 'Ssst... jangan berisik' Terus dia nunjuk anaknya, lagi tidur, padahal anaknya sudah meninggal," kata Rohayati, salah satu tetangga.
Saat pintu berhasil didobrak, Denny langsung menyelamatkan anak pertamanya yang berusia tiga tahun. Sementara warga lainnya berusaha menutupi badan Mutmainah yang telanjang bulat. Ia tidak berbicara satu patah kata pun saat warga mendekatinya.
"Pas dipakein baju, dia bilang 'saya mau mandi dan salat dulu'," kata Rohayati menirukan ucapan Mutmainah.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Awi Setiyono mengungkapkan, sepekan sebelum pembunuhan, Mutmainah kerap menangis dan berbicara sendiri tanpa sebab yang jelas.
"Dia terlihat seperti depresi berat. Wajahnya juga sering pucat," ujar Awi di Jakarta, Senin 3 Oktober 2016.
Sikap Mutmainah membuat orang sekitarnya takut. Apalagi ia selalu mengancam akan menyakiti jika diganggu.
"Bahkan suaminya pernah diancam, 'Kamu tidak takut sama saya'," ujar Awi menirukan ucapan Mutmainah.
Aipda Denny, suami Mutmainah, sebenarnya khawatir dan takut akan keselamatan anaknya. Oleh karena itu beberapa hari belakangan ia selalu pulang lebih awal untuk mengawasi sang istri.
"Tapi, Denny shock karena secara brutal istri malah menyakiti dan membunuh salah satu anaknya," ujar Awi.
Saat ini, hasil pemeriksaan awal menunjukkan keadaan jiwa Mutmainah tak stabil. "Masih kami selidiki dari pemeriksaan psikologis, apa alasan Mutmainah tiba-tiba mengalami depresi," kata Awi.
Meski begitu, Awi menampik depresi Mutmainah dilatarbelakangi pekerjaan sang suami sebagai anggota Polri. "Kami tak bisa mengawasi apa yang terjadi di setiap keluarga anggota (Polri). Ini masalah pribadi yang tak ada sangkut pautnya dengan institusi," ucap dia.
Kontrakan di Ujung Gang
Rumah kontrakan Aipda Deni berukuran 3x6 meter. Rumah itu terdiri atas tiga ruangan, yakni ruang tamu, kamar, dan dapur.
Rumah kontrakan tersebut berada di sebuah gang buntu, gelap, dan sempit. Sebuah pagar hitam setinggi dua meter jadi satu-satunya akses jalan masuk.
Kontrakan itu gelap dan pengap. Hanya ada tiga kamar kontrakan yang sederet dengan kamar Mutmainah. Cat dinding semua kamar kontrakan itu mengelupas. Warna hijau dan biru di dindingnya tampak pudar.
Kamar kontrakan tersebut hanya memiliki tiga ventilasi yang dipenuhi jaring laba-laba. Mutmainah diduga memutilasi bayinya di kamar.
Ada dua jendela kaca, satu jendela kaca, dan satu lagi jendela nako yang ditutupi debu tebal. Tak ada gorden di jendela itu. Jendela hanya ditutupi dengan selimut berwarna hijau dan biru.
Sebuah pintu triplek dipasangi garis polisi. Lubang kuncinya sudah rusak. "Dibobol sama suaminya pakai obeng," ujar Ketua RT 04, Suyadi.
Mutmainah dan Denny mulai tinggal di kontrakan tersebut sejak mereka menikah. Kontrakan itu tidak jauh dari rumah orangtua Mutmainah.
"Rumahnya Iin mah lumayan luas. Tapi sejak nikah, dia ngontrak di situ," kata Yanti (43), pedagang nasi dan lauk yang juga tetangga.
Yanti mengatakan, hampir setiap sore Mutmainah singgah ke warungnya. Hanya sekadar bercerita atau membeli ayam dan ikan untuk makan keluarganya.
Masih belum bisa dipastikan motifnya apa, tapi membacanya membuat kita sedih dan tak tahu harus bilang apa. Apa yang sebenarnya terjadi?